Kamis, 28 Agustus 2008

Soe Hok GIE dan postmodernisme

Oleh : eko nugroho


Tidak ada yang menyangka hari itu di sebuah Desember tahun 1969 Soe Hok Gie atau biasa di panggil GIE (27 ) menghembuskan nadas terakhirya di puncak sang mahameru . Aktifis UI medio 66 ini ti dak lagi bisa menuliskan kata kata pedasnya bagi sebuah keadaan yang carut marut saat itu—mungkin juga sampai sekarang.
Generasi sekarang tidak banyak yang mengenal Soe Hok Gie . Ada yang bilang ia terlahir hanya untuk menorehkan nama di nisan museum prasasti ,seprti sepenggal kalimat yang di ukir di nisannya ” no one understand my sorrow” . Sampai ketika di tahun 2005 film besutan Riri riza -- seorang sutradara muda yang sukses lewat film Petulangan sherina dan film remaja Ada apa dengan cinta ---berjudul nama belakang soe hok gie ” GIE” berhasil memukau publik dan mengembalikan ingatan romantika dirinya dan tahun enam puluhan.
Tokoh Gie dalam film tersebut diperankan oleh Nikolas Saputra adik kelas gie di UI angkatan tahun 2000. Tidak ada kemiripan antara keduanya, yang satu mongoloid yang satu jelas kaukasoid. Namun entah bagaimana Riri bersama timnya mengkonstruksi sedemikian maka lahirlah seorang GIE yang berpenampilan kaukasoid.
Niko begitu sapaan akrab nikolas Saputra yang juga pernah membintangi film ada apa dengan cinta dan menjadi popular dikalangan anak muda sekitar 2000 -2005 denagn tokoh rangganya. Aktingnya yang dingin dan macho mapu merebut hati para remaja terutama remaja wanita..
Rangga dan gie mungkin dua karakter yang berbeda tetapi dalam film gie karakter rangga telah m enjadi citra utama dalam memberikan konstruksi hiperealitas pada sosok GIE yang fenomenal itu . Perlu dipertanyakan yang muncul dalam film gie itu apakah soe hok gie atau Rangga (niko).Apakah tokoh niko telah menjadi simulasi bagi gie dan bagimanakah kekuasaan budaya konsumsi mengimplosi relitas tentang gie
Pertanyaan tentang bagaimana citar citar itu lepas dari rujukannya paling pas jika dilaletakan datas asumsi dunia dan masyarakat postmodern . Karakterisitk utama dari ruang/pemikiran/ tataran waktu ini adalah yang oleh J.P baudrillard serang filsuf perancis disebut sebagai simulakra yaitu suatu citra murni yang terlepas dari rujukannya dia hanya menjadi citra kososng tanpa pernah merujuk pada detil dan eksitiaensi fakta rujukannya denagn kata lain tidak merujuk pada potongan realitas aslinya. hanya menjadi penanda bagi penanda itu sendiri.

Gie dan masyarakat tontonan
Dalam memandang fenomena ”GIE ” dan masyarakat tontonan ini pertama tama perlu dipaparkan asumsi utama tentang postmodern itu sendiri. Dick hebdige seorang pengamat postma memberikan tiga hal utama menyangkut kondisi postmodern . pertama , adalah penolakan pada totalisasi, bahwa saat ini kita dikuasai oleh kepercayaan bahwa modernias adalah suatu penyelesaian atau akhir dan asusmsi asumsi modernitas merupakan suatu bahasa tentang benar dan salah itu sendiri sehingga adanya suatu totalisasi dan justifikasi terhadap suatau abstraksi sehingga abstaraksi lain yang jauh dari nlai nilai kekuasan—atas nama kemodernana- dianggap salah dan merupakan sesuatu yang dilarang dan dipinggirkan atau diberi label kuno dan tak terpakai.
Kedua , penolakan pada teleologisme, menurut hebdige bahwa akibat adanya kapitalisasi dan penggunaan media serta pembentukan citra palsu dari wacana maka kita dimasa ini tidak mampu mengatakan bahwa setiap penanda penanda baik dalam bentuk wacana atau pun ilmu pengetahuan sekalipun mampu memberikan kebenran absolut. Artinya disini bahwa kepastian kepastian tentang kebenaran seperti struktur dalam strukturalisme dan determinasi ekonomi dalam marxist klasik menjadi kabur dan sangat rentan terhadap perdebatan dan kenihilan karena dicurigai kemungkinan kemungkinan distrosi dan deviasi makna atau motif didalamnya sehingga menyangkut apa yang di ungkapkan baudrillad tentang hiperealitas dan simulasi , dimana kini relitas yang dituju itu menjadi palsu akibat kekuatan kekuatan yang menaikan citra dan mengimplosi realitas ke dalam citra.
Ketiga, penolakan terhadap utopia, kita dalam alam modern sering sekali mendengar tentang masyarakat adil makmur, kesejahteraan , impian impian dalam berbagai film film dan terbitan terbitan futuristik ini adlah suatu yang sangat tidak pasti, bahwa impian impian itu hanyalah rekyasa citra semata yang jauh dari realitas yang berdiri sendiri dalam ruang ruang utopis yang menyajikan kepalsuan .
Dalam asumsi ini maka gie sebagai sebuah penanda dapat dijelaskan sebagai berikut pertama, gie telah memasuki /dimasukan dalam suatu medan dimana apa yang diceritakan media tentang sosoknya menjadi suatu citra palsu suatu hiperealitas bukan lagi sebuah realitas yang jujur, Gie dikonstruksi untuk kepentingan komersial tertentu ditampilkan dalam bentuk suatu nostalgia ,sedang kan kehidupan relitasnya gie adalah suatu prahara bangsa yang menjadi perenungan sehingga citra gie adalah seakan akan penanda penanda palsu yang hanya memenuhi kebutuhan penonton untuk merasa senang tanpa pernah peduli bagaimana pola pola kejadian yang lebih besar yang melingkupi gie.
Melihat film sebagi media maka konstruksi film dengan segala teknologinya telah menghasilkan seorang sosok gie baru yang hipereal . Bukan lagi soe hok gie tetapi gie dan bahkan ”gie gie” an/ tiruan . Yasraf amir piliang dalam bukunya berjudul hipersemiotika mengatakan bahwa media kerap menyajikan tanda- tanda palsu yang merupakan hasil rekayasa citra dan imagologi untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang sesungguhnya tidak terjadi sepenuhnya.
Kedua, gie disajikan dalam bentuk pembenaran tentang hiperealitasnya, disini deviasi pencitraan sosok Gie melalui sosok niko yang dijadokan sosok acuan ikonis Gie yang baru berusaha menciptakan trend dan pembenaran bahwa sosok niko adalah gie padahal disini sosok gie bukan lah niko sosok gie adlah orang lain yang ada dalam catatan sejarah ,mungkin sejarah kelam negeri ini. Namun sosoknya kini menjadi”nabi” baru dengan kesempurnaan fisik dan konstruksi intelektual yang digambarkan oleh citraan di film--- kendati aslinya tdak demikian gie hanya pria keturunan yang kurus dan sederhana tidak seperti sosok niko yang secara fisik proporsional.
Guy Debord mengasumsikan dunia postmo dengan konsep masyarakat totonan. Masyarakat tontonan menurut Debord dalam masyarakat ini semua bentuk fakta telah bergerak menuju suatu representasi. Representasi ini kemudian membangun suatu realitas tontonan dan tontonan itu menurut Debord menjadi sesuatu yang nyata.
Gie dalam hal ini telah dikonstruksi menjadi sebuah realitas tontonan . Dimana Riri riza sebagai sutradara dan produser menampilkan Gie sebagai suatu konstruksi tontonan . Apa yang dibutuhkan masyarakat tontonan untuk memebuhi hasrat kesenagannya ditampilkan melaui GIE artifisial ini . Wajah yang ganteng dan visualisasi sekitar yang mengundang nostalgi semata dihadirkan , ini jauh dari realitas kehidupan gie sendiri yang penuh kontoversi dan pemikiran serius tentang sejarah dan situasi ketika ia hidup--- ditengah kerisis dan carut marutnya dunia dan indonesia pada khususnya pad thn 1960an dimana perang dingion sedang pekat berkecambuk dan menyebebkan banyak krisis di berbagai negara seprti perang vietnam dan pembrontakan G 30 S PKI . Penoton jelas dibawa keatas panggung sandiwara yang menyenangkan dan membuai melalui suatu konstruksi sejarah palsu yang menghadirkan romantika romantika secara sepotong - sepotong tanpa menghadirkan esensi fakta secara tepat tetapi lebih kepada konstruksi yang melenceng dan artifisial ,dengan memasukan figur serta konstruksi- konstruksi poluler demi kepuasan penontn atas fetitsme yang dihadirkan melalui konstruksi tontonan tersebut—dengan menghadirkan citra ciitra populer dari masyarakat totntonan indonesia seprti Niko ,Happy Salma atau wulan guritno yang mungkin tampilan seprti mereka memang ada tapi dalam hal ini mereka adalah alat kapitalist untuk mengeruk atau menghasilkan daya tarik tontonan semata . Semetara realitas tentang pergerakan dan gejolak yang memacu degup jantung dan kengerian- kengerian ala 1960 an yang sebenarnya oleh Gie coba digambarkan dalam caatan hariannya sebagai bentuk kontemplasi dan pemikiran serius justru dipotong potong . Semua tampak seprti sebuah perayaan tentang era 1960 dan kehedonismeannya bukan suatu paparan relitas semata hanya sebuah perayaan tontonan spectacle celebration party.
Ini semata mata untuk memproduksi suatu komoditas kesenangan. Kesenagan yang bisa mendatangkan perhatian penonton dengan konsekuensi komerisal tentunya . Namum patut disayangkan adalah konstruksi disini bukan bermotif konstruksi dari sebuah hasrat kesejarahan yang mencoba membeberkan sebuah fakta dan kondisi . tetapi ini adalah konstruksi yang hadir atas refleksi keinginana dari hedonisme pasar. Bukan untuk menarik masyarakat berfikir serius tentang kondisi bangsa pada saat itu tetapi intuk menikamti kondisi bangsa dalam nostalgia palsu tentang seorang pemuda keturunan bernama soe hok gie ini dan ii juga semata mata agar film tersbut sukses sec ara komersial.


Celebritisasi soe hok gie
Pemakaian Nikolas Saputra sebenarnya telah menarik citra GIE ke dalam pembentukan suatu citra jual dengan menempelkan citra selebritas Niko pada konstruksi realitas sosok Gie. Selebritas sendiri dalam alam dunia kapitalis merupakan suatu kelas dan disatu sisi juga komoditas yang mampu menghasilkan suatau nilai tukar tertentu .
Gie yang kemudiann di rekonstruksi ulang dengan menempelkan citra Nikolas pada dasarnya telah mengalami celebritsasi . Gie pada dasarnya bukanlah seorang selebriti di negeri ini—dalam pengertian selebiti pop..tetapi ia lebih merupakan sosok dari sebuah lingkungan budaya tinggi atau high culture -- ,ia hanya dikenal sebagai bagian dari high culture negeri ini . Sedangkan kelas selebritis adalah orang orang yang dikenal dalam pop culture dalam masyarakat.
Selebriti pada dasarnya adalah kelompok orang yang dikonstruksi sedemikian rupa baik gelagat maupun penampilannya untuk kepentingan masyarakat tontonan , dalam hal ini oleh media . Media sebagai cultural industry menurut David holmes membentuk seseorang untuk berprilaku benar dalam aturan aturan tertentu utnuk dikonstruksikan oleh tampilan tampilan tertentu dalam kamera. Sehingga konstruksi gie telah menyeret gie kedalam suatu posisi budaya dimana yang tadinya ia adalah bagian dari pembicaraan budaya tinggi menjadi pembicaraan pop atau mass culture,
Dengan dikonstruksinya gie melalui niko sebenarnya gie telah dijadikan budaya pop, menjadi selebriti adalah bagian dari konstruksi budaya pop yang oleh Thedodor Adorno dalam sebuah essy nya yang berjudul The cultural Industry dikatakan bahwa ini semua di kontrol bukan lagi oleh isi pesan dan tujuan tujuan kutural yang luhur tetapi justriu oleh motif kapital yang kemudian menurut Adorno mendangkalkan arti dari budaya itu sendiri. Dalam hal ini merendahkan arti dari sosok gie itu sendiri dimana gie dengan serta merta dikonstruksi ulang –melalui nikolas saputra- dan dijadikan citra tontonan yang pada akhirnya menghasilkan suatu pertumbuhan kapital bagi pihak tertentu.
Niko ,gie dan simulacrum
Fenomeona Niko dan gie bisa dijelaskan melalui teori simulasi yang dikemukakan oleh Baudrillard. Menurut Baudrillard bahwa bentuk dari hiperrealitas yang memproduksi proses- proses simulasi. represntasi atas sesuatau dalam fase simulakra dalam hal ini representasi media berusaha menghisap suatu simulasi dengan menafsirkan sebuah fakta palsu.
Denagn kata lain represntasi telah menjadi citra kososng atau mewakili citra itu sendiri dan ini disebut simulasi ( pure simulacrum).
Soe hok Gie sebagai citra dalam film ”GIE”--- seperti juga yang dipandang oleh banyak orang- telah terlepas dari realitas soe hok gie. Yang dibangun sekarang adalah simulasinya yaitu sosok Gie yang berwajah niko . Gie telah terimplosi dan menjadi citra murni tanpa kita tahu fakta sejarah dan ide ide filosofis yang mewarnai kehidupan sebenarnya.
Dalam fase yang lebih lanjut seprti yang diutarakan Baudrillard tentang pure simulacrum maka gie tingglah menjadi tulisan tulisan atau grafis yang tidak berarti sama sekali . Hanya menimbulkan sensasi kesenangan belaka.
Nikolas saputra yang kini diidentifikasi sebagai gie ala 2000 an ini pada dasarnya adalah bagian dari masyarakat tontonan ,lekuk tubuh dan ketampanannya menimbukan fetish tertentu . dan ke fetishan ini tidak lagi menghubungkan ide utama tentang gie..tetapi hanya suatu citra palsu dan banal tentang garis dan bentuk muka seseorang yang menyenangkan, seperti niko.
Bahkan untuk tujuan komoditas kesenagan film gie melencengkan fakta tentang orang orang di sekeliiling gie seperti tiga gadis yang tidak pernah disebutkan namanya dalam catatan harian gie ditampilkan dengan nama dan sosok tertentu (wulan guritno dan Rida ). artinya disini cerita tentang gie sudah ltidak merepresentasikan gie dan benang merah hidupnya . tokoh yang dipaksa hadir dengan diperankan oleh dua sosok pesohor itu tentu akan mendongkrak nilai tukar dari film dan tentu dalam masyarakat tontonan itu menjadi tontonan yang baik. Ketimbang jika mereka tidak di tampilkan ,tapi sekali lagi ini justru mengimplosi lebih dalam realitas tentang gie itu sendiri

Gie milik siapa?
Gie lepas dari sosok aslinya adalah simbol/ penanda yang merujuk atas sesuatu . Gie hidup dalam kurun tertentu yang di museumifikasi dalam bentuk catatan dan konstruksi sejarah. Sedangkan sejarah sendiri penuh dengan campur tangan kekuasaan. Sehingga simulasi citra gie tidak lepas dari bagaimana kekuasaan mengkonstruksi sejarah.
Menurut Peter L Berger dan Thomas luckman dalam buku social constuction fo reality : a treatise of its the sociology of knowledge (1966) bahwa masyarakat adalah produk manusia dan manusia diproduksi oleh masyarakat(socially product) . dan proses konstruksi ini berlangsung juga untuk meng konstruksi proses melalui penanda- penanda atau simbol simbol yang disebut oleh mereka sebagai obyektifikasi. Sehingga menurut mereka pada dasarnya realitas di tentukan atau dibuat melalui hubungan social atau socially constructed. Proses konstruksi ini sudah barang tentu sangat dipengaruhi oleh kekuasaan bagaiman tekanan dan hegemoni kekuasaan menuntut untuk dikonstrruksinya penanda- penanda tertentu sebagai bentuk realitas –- begitupun sejarah sebagai konstruksi realitas sejarah.

Sehingga bagaimana suatu itu ada maka ditentukan oleh kekuatan kekuatan sosial dalam mengkonstruksi realitas. Hiperealitas gie juga demikian, gie yang dikonstruksi ulang oleh film GIE adalah juga medan pertempuran konstruksi sosial. Yaitu konstruksi simbolik. Yang oleh Pierre bordieu ini disebut juga simbolic capital yaitu bagaimana sebuah legitimasi simbol sebagi bentuk kapital yang di ertarungkan antar berbagai kekuasaan.
GIE kini kini bukanlagi milik gie tetapi milik kekuasaan pengkonstruksi realitas. Ini tidak lepas dari suatu motivasi kekuasaan untuk memenuhi hasrat masyarakat konsumen dan tontonan yang diujungnya mendatangkan suatu profit tertentu buat penguasa penguasa itu. Penguasa- penguasa ini bisa berupa keukasaan politik dan yang lebih dekat adalah kekuasaan kapitalis yang mencoba mengkomodifikasi budaya agar dengan serta merta mempunyai nilai tukar. Perusahaan film yang membuat gie berusaha menarik sponsor melalui citra Gie. Motivasi masyarakat tontonan mampu melakukan koogulasi atau pengumpulan para audience pada satu bentuk tontoooonan yang ini akan mendatangkan para pengiklan . dan sudah barang tentu ini menghasilkan profit untuk pertumbuhan capital gain dari perusahaan itu . Dallas Smythe berpendapat bahwa pada dasarnya media berusaha menjual audience atau kumpulan audience pada pengiklan untuk pertambahan keuntungannya.
Gie sebagai simbol sejarah dan budaya bangsa ini coba didangkalkan melaui film gie, semata mata untuk menyetuh kepopuleran yang bermuara pada bagaimana sosok gie ini menjadi citra yang menjual kalau perlu melepas gie dari faktanya sendiri dan menempelkannya pada bentuk bentuk selebritas rendahan dan populer hanya agar konstruksinya itu menghasilkan suatu nilai tukar untuk diperjual belikan. Dan kini jawaban diatas bisa dijawab bahwa gie tidak lagi menjadi milik Gie teapi milik kekuasaan baik kapital maupun budaya.
Kesimpulan
Gie sebagai bagian dari sejarah dikonstruksi ulang menjadi sebuah tokoh dalam film yang bertajuk namnya sendiri ’gie’. Konstruksi ini menybabkoan gie menjadi sebuah simuolakra , ini merupakan sebuah gejala lepasnya citra dari roujukan.
Hipereelaitas gie adalah suatu gejala yang timbul dalam masyaraka postmo yang identik denagn pola konsumsi citar bukan konsumsi material yang akhirnya cirtra lepas dari esensi seprti halnya gie lepas dari gie ”nya sendiri dan menjadi rangga (nikoloas saopurtra)
Ini tidal lepas dari bagaiman prilaku perusahan film dan periklanan yang berusha menisi profit merka denagn memenuhi tuntutan budaya konsumen da masyarakat tontonan yang pada akhirnya mengorbankan citra citar atdenagn mengimpolosi reliotas sehingga masyarakat dipenuhi oleoh pure simulakrum.
Imploikasi dari gejala ini kedepan mungkin kasus gie ini akan banyak terdapat dalam fakta keseharian hidup seprti ekonomi sosial b, budaya, dan yang lebih mengrikan politik.

Rabu, 05 Maret 2008

salam kenal....

kemelaratan informasi dan retak kebudayaan media di indonesia mendorong saya untuk menulis dan mengumpulkan tulisan tentang ide ide reformatif bagi pembangunana media dan ruang publik indonesia . saya menrima sumbangan tulisan anda dengan jaminan na anda kan saya tampilkan sebagi penulis untuk itu saya bertaruh kredibilitas sebagai ipeneliti dan calon ilmuwan....
tulisan bisa dikirim ke email saya ekobom99@yahoo.com denagn menyertakan nama dan scanan kartu penduduk anda